Albi, bocah SD di Empat Lawang, berjuang melawan kanker mulut. Sudah dapat rujukan ke Palembang, tapi kepastian tindakan medis masih abu-abu.
![]() |
| Albi, bocah SD di Empat Lawang, berjuang melawan kanker mulut. Sudah dapat rujukan ke Palembang, tapi kepastian tindakan medis masih abu-abu. Foto: Istimewa |
DI SEBUAH rumah sederhana di Desa Sugiwaras, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang, tangis kecil seorang anak terus bergema.
Namanya Albi, murid kelas 3 SD Negeri 25 Tebing Tinggi.
Bukan tangis manja meminta mainan, melainkan jerit kesakitan yang sulit diredam akibat kanker mulut yang dideritanya.
Setiap hari, rasa sakit itu semakin menjadi. Mulutnya yang seharusnya tersenyum ceria kini kerap mengeluarkan darah.
Tidur pun tak pernah benar-benar nyenyak karena rasa perih tak mengenal waktu. Makanan yang masuk hanya sedikit, selebihnya ditahan oleh tubuh mungil yang kian melemah.
Perjuangan Panjang Tanpa Kepastian
Sejatinya, keluarga Albi sudah mendapatkan rujukan ke Kota Palembang untuk menjalani tindakan medis.
Namun hingga Senin (1/9/2025), belum ada kepastian kapan ia akan ditangani oleh dokter.
Waktu terus berjalan, penyakit semakin ganas, tapi kejelasan penanganan belum kunjung datang.
“Kami sudah dapat rujukan ke Palembang tapi sampai sekarang belum ada kepastian kapan Albi akan ditangani dokter. Kondisinya makin parah sementara kami hanya bisa menunggu,” ujar sang ayah, Ismani, dengan mata berkaca-kaca.
Bagi keluarga, menunggu adalah hal paling menyakitkan. Setiap detik yang terlewat adalah pertaruhan nyawa sang buah hati.
Harapan pada Pemerintah yang Belum Nyata
Di tengah perjuangan, keluarga berharap adanya perhatian dari pemerintah. Namun hingga kini, bantuan yang datang baru berupa dukungan masyarakat sekitar.
Warga desa bersama-sama memberikan sumbangan seadanya. Beberapa tetangga pun ikut menyuarakan keprihatinan.
“Kami kasihan melihat anak sekecil ini harus menahan sakit. Sementara bantuan pemerintah belum terlihat, harusnya pemerintah cepat hadir,” ucap seorang tetangga.
Sang ayah pun mengeluhkan minimnya dukungan fasilitas dari pihak berwenang.
“Kami butuh bantuan untuk keberangkatan dan fasilitas dasar seperti ambulans. Sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah padahal anak kami semakin kritis,” imbuh Ismani.
Bantuan dari Dinas Sosial, Tapi...
Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Empat Lawang, Eka Agustina, menyebut pihaknya sebenarnya sudah turun tangan.
“Sudah dikunjungi Ibu Wabup Kamis kemarin, sudah diberikan bantuan dana juga untuk ke Palembang dan sembako,” ujarnya.
Namun, terkait kepastian tindakan medis, Eka mengaku hal itu ada di kewenangan Dinas Kesehatan.
“Kalau untuk perihal booking jadwal pengobatan lebih lengkapnya ada di Dinas Kesehatan. Alhamdulillah Albi BPJS-nya sudah ada,” tambahnya.
Dengan kata lain, birokrasi masih membatasi kecepatan tindakan medis yang seharusnya segera diberikan kepada Albi.
Warga Bergerak, Solidaritas Tumbuh
Meski pemerintah belum sepenuhnya hadir, solidaritas masyarakat menjadi pelipur lara bagi keluarga kecil ini.
Beberapa warga menginisiasi penggalangan dana, bahkan ada yang bersedia membantu mengurus keberangkatan ke Palembang.
Kekuatan gotong royong memang menjadi salah satu ciri khas desa di Indonesia.
Namun dalam kasus Albi, harapan tetap tertuju pada perhatian negara yang seharusnya lebih cepat tanggap.
Kanker Mulut: Penyakit yang Jarang Disadari
Kasus Albi sekaligus menjadi pengingat bahwa kanker mulut adalah penyakit serius yang sering kali luput dari perhatian. Banyak orang baru menyadarinya ketika sudah memasuki tahap parah.
Gejalanya bisa berupa sariawan yang tak kunjung sembuh, rasa sakit saat mengunyah, hingga keluarnya darah dari mulut.
Dalam kasus anak-anak, kondisi ini lebih menyayat hati. Mereka belum mengerti arti penyakit, tapi harus menanggung sakit yang luar biasa.
Menanti Kepastian dan Keajaiban
Hingga kini, keluarga Albi hanya bisa menunggu kabar baik. Setiap hari, ibunya menjaga di sisi ranjang.
Setiap malam, ayahnya terjaga memastikan anaknya tidak kesakitan sendirian. Mereka berharap, pemerintah tidak hanya hadir dengan kata-kata, tetapi juga tindakan nyata.
Waktu adalah faktor penting dalam penanganan kanker. Semakin cepat ditangani, semakin besar peluang untuk sembuh.
Namun dalam kasus Albi, waktu terasa berjalan lambat, dan setiap keterlambatan bisa berarti lebih dekat pada kehilangan.
Suara yang Harus Didengar
Cerita Albi bukan sekadar kabar duka dari pelosok Empat Lawang. Ini adalah suara masyarakat kecil yang sering kali tak terdengar di pusat kekuasaan.
Seorang bocah 9 tahun yang harus menanggung sakit karena birokrasi dan keterlambatan penanganan.
Kasus ini menjadi cermin betapa pentingnya sistem kesehatan yang responsif, terutama bagi anak-anak.
Mereka adalah generasi masa depan, yang seharusnya mendapat prioritas tertinggi dalam layanan kesehatan.
Penutup: Harapan di Tengah Derita
Kini, bola ada di tangan pemerintah daerah dan tenaga medis.
Keluarga Albi sudah berusaha, masyarakat sudah bergerak, tapi nyawa seorang anak tak bisa menunggu.
“Anak kami semakin kritis. Kami hanya bisa berharap ada keajaiban dan perhatian dari pemerintah,” ucap Ismani lirih.
Derita Albi adalah derita kita bersama. Sebuah kisah nyata yang semoga menggugah hati banyak orang: bahwa setiap anak berhak atas hidup yang layak, sehat, dan terbebas dari penderitaan panjang. **
