Sungai Rupit Jadi Nadi Kehidupan Sehari-hari!

Warga Muara Tiku masih mengandalkan Sungai Rupit untuk mandi, mencuci, hingga mencari ikan. Kehidupan sederhana dengan cerita penuh makna.

Warga Muara Tiku masih mengandalkan Sungai Rupit untuk mandi, mencuci, hingga mencari ikan. Kehidupan sederhana dengan cerita penuh makna. Foto: Istimewa

DI DESA
Muara Tiku, Kecamatan Karang Jaya, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, kehidupan warganya masih begitu dekat dengan alam. 

Meski teknologi dan modernisasi perlahan merambah hingga ke pelosok desa, Sungai Rupit tetap menjadi nadi kehidupan yang tak tergantikan.

Setiap sore, pemandangan di tepi sungai selalu ramai. Warga berbondong-bondong datang membawa ember, pakaian kotor, hingga kendaraan roda dua untuk dicuci. 

Suasana sederhana itu menghadirkan nuansa khas pedesaan yang kini semakin jarang ditemukan di kota-kota besar.

“Alhamdulillah, sungai kami airnya masih jernih. Masih layak digunakan beraktivitas. Anak-anak juga masih mandi di sungai kalau sore hari,” ungkap Mas, salah satu warga yang ditemui di pinggir sungai.

Baginya, Sungai Rupit bukan sekadar sumber air, melainkan bagian dari tradisi turun-temurun yang terus hidup di Muara Tiku.

Lebih dari Sekadar Air

Air Sungai Rupit bukan hanya digunakan untuk mandi atau mencuci. Beberapa warga, seperti Budi, masih memanfaatkannya untuk mencari ikan. 

Meski kini air sungai mulai dangkal sehingga hasil tangkapan tak sebanyak dulu, tradisi menjala ikan tetap dilakukan.

“Sekarang jarang cari ikan karena air dangkal. Tapi nanti kalau air naik lagi, kami tetap turun ke sungai. Harapannya jangan sampai sungai ini tercemar,” tutur Budi sambil tersenyum.

Harapan warga Muara Tiku sederhana: sungai tetap jernih dan layak pakai. Karena meskipun hampir setiap rumah memiliki sumur, mereka tetap merasa lebih nyaman mencuci di sungai. Ada sensasi berbeda ketika baju atau piring kotor dibilas di aliran air yang mengalir deras.

Anak-Anak dan Keceriaan di Sungai

Sore hari menjadi waktu favorit anak-anak di desa. Begitu pulang sekolah dan selesai membantu orang tua, mereka berlarian menuju sungai. Suara tawa, cipratan air, hingga aksi lompat dari batu ke sungai menjadi pemandangan penuh keceriaan.

Fenomena ini mengingatkan banyak orang pada masa kecil ketika bermain di alam terbuka masih menjadi aktivitas utama. 

Tidak ada gawai, tidak ada layar digital—hanya air sungai yang jernih dan kebersamaan dengan teman sebaya.

Sungai Sebagai Ruang Sosial

Bagi warga Muara Tiku, Sungai Rupit juga berperan sebagai ruang sosial. Di sinilah mereka bertemu, bercakap, berbagi cerita, bahkan saling membantu. 

Para ibu sering kali berkumpul sambil mencuci pakaian, sementara bapak-bapak kadang mengobrol ringan sembari mencuci motor.

Ruang interaksi seperti ini mulai langka di era modern. Sungai tidak hanya menghubungkan secara fisik, tetapi juga mempererat ikatan sosial antarwarga.

Antara Tradisi dan Modernisasi

Memang, sebagian warga sudah menggunakan air sumur atau bahkan air bersih dari PDAM. 

Namun, kebiasaan turun ke sungai tidak serta-merta hilang. Ada nilai kebersamaan, ada tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Bagi mereka, sungai bukan sekadar sumber daya, tetapi warisan leluhur yang harus dijaga. Kejernihan air adalah harta berharga yang lebih bernilai daripada sekadar fasilitas modern.

Harapan Sungai Tetap Terjaga

Mas dan Budi, seperti halnya warga lain di Muara Tiku, memiliki satu harapan besar: Sungai Rupit tetap jernih dan terhindar dari pencemaran.

“Kalau sampai keruh, tentu susah bagi kami. Karena meskipun ada sumur, tetap saja sungai lebih praktis. Apalagi kalau air sumur keruh saat musim hujan, kami kembali ke sungai untuk mencuci,” jelas Mas.

Harapan itu sejalan dengan kebutuhan menjaga ekosistem sungai. 

Kebersihan aliran air tidak hanya penting untuk aktivitas warga, tetapi juga untuk keberlangsungan ikan dan makhluk hidup lain yang bergantung pada sungai.

Potret Kehidupan yang Mulai Langka

Kehidupan di Muara Tiku memberikan gambaran nyata bagaimana masyarakat pedesaan masih menjaga hubungan erat dengan alam. 

Aktivitas mandi, mencuci, hingga mencari ikan di sungai adalah potret sederhana yang justru terasa mewah di tengah hiruk-pikuk perkotaan.

Bagi banyak orang, apa yang dilakukan warga Muara Tiku mungkin dianggap kuno. 

Namun, justru dalam kesederhanaan itulah tersimpan nilai kehidupan yang sulit ditemukan di tempat lain: kebersamaan, keakraban, dan ketergantungan pada alam yang selalu dijaga.

Menjaga Sungai, Menjaga Kehidupan

Sungai adalah denyut kehidupan desa. Jika ia tercemar, hilanglah bukan hanya sumber air, melainkan juga budaya, tradisi, dan ruang sosial masyarakat.

Kisah warga Muara Tiku menjadi pengingat bahwa modernisasi tak selalu berarti meninggalkan tradisi. 

Sebaliknya, menjaga kebersihan sungai bisa menjadi cara sederhana untuk memastikan bahwa kehidupan tetap berjalan harmonis antara manusia dan alam.

Ketika sore tiba, Sungai Rupit kembali dipenuhi aktivitas warga. Anak-anak berenang, ibu-ibu mencuci, bapak-bapak merendam kendaraan. Semua menyatu dalam harmoni sederhana yang indah.

Sungai bukan hanya air yang mengalir, melainkan cermin kehidupan. Dan di Muara Tiku, Sungai Rupit adalah saksi bisu bahwa tradisi, kebersamaan, dan harapan masih mengalir jernih, sama seperti airnya. **