Kode "86" bukan sekadar sandi polisi. Dalam jurnalistik, istilah ini berevolusi jadi simbol penyelesaian kasus penuh kontroversi.
Ilustrasi. (*/Mangoci4lawangpost.com)
PERNAHKAH Anda membaca berita kriminal, lalu menemukan istilah “86” yang diselipkan oleh jurnalis atau narasumber? Sekilas, angka ini terdengar seperti kode rahasia atau istilah dalam film aksi.
Nyatanya, “86” memang berakar dari dunia kepolisian, namun maknanya kini telah bergeser jauh, bahkan menjadi simbol yang sering dihubungkan dengan praktik suap dan penyelesaian perkara secara “diam-diam”.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami asal-usul istilah "86", pergeseran artinya di masyarakat, hingga bagaimana media memanfaatkannya dalam pemberitaan.
Asal-Usul Kode "86" di Kepolisian
Sebelum populer di masyarakat, istilah ini sudah lama dipakai oleh aparat penegak hukum.
Dalam komunikasi radio atau HT (Handy Talky) antarpetugas, “86” berarti "dimengerti" atau "siap dilaksanakan".
Contohnya, ketika seorang perwira memberi instruksi, bawahannya akan menjawab:
"Siap, 86."
Artinya: “Saya mengerti perintah Anda dan siap melaksanakannya.”
Penggunaan kode ini membuat komunikasi lebih singkat, efisien, dan aman dari penyadapan pihak yang tidak berkepentingan.
Di dunia kepolisian, penggunaan kode angka memang sudah lazim untuk menjaga kerahasiaan dan mempercepat respons di lapangan.
Perjalanan Makna dari Netral Jadi Kontroversial
Seiring waktu, istilah “86” keluar dari ranah kepolisian dan mulai masuk ke bahasa sehari-hari.
Proses ini terjadi karena interaksi masyarakat dengan aparat, pemberitaan media, dan budaya pop.
Namun, perubahan ini bukan sekadar adaptasi bahasa, melainkan juga pergeseran makna.
Dari arti aslinya yang netral, “86” kini sering digunakan untuk menyiratkan penyelesaian suatu perkara dengan cara yang tidak transparan.
Beberapa arti baru yang berkembang antara lain:
-
Selesai atau beres – Misalnya, “Tenang, urusan ini sudah di-86,” yang berarti masalah sudah ditangani, tanpa menjelaskan caranya.
-
Suap atau main mata – Mengacu pada penyelesaian perkara lewat uang atau kesepakatan di luar jalur hukum resmi.
Perubahan ini diperkuat oleh pemberitaan kasus-kasus hukum yang sarat dugaan intervensi dan praktik “damai di bawah meja”.
Budaya Pop dan Media yang Memopulerkan "86"
Popularitas istilah ini melonjak ketika program televisi realitas bertema kepolisian yang berjudul "86" tayang di salah satu stasiun TV nasional.
Acara ini menampilkan aktivitas harian polisi, dari patroli hingga penangkapan pelaku kejahatan.
Meski tujuan acara ini untuk edukasi publik, tanpa disadari, nama program ikut mengangkat istilah tersebut ke ranah populer.
Selain itu, novel "86" karya Okky Madasari juga memberi warna berbeda.
Buku tersebut mengupas praktik korupsi dan suap-menyuap di sistem hukum Indonesia.
Di sini, “86” menjadi simbol sistem yang bobrok, di mana hukum bisa dibeli dan keadilan dapat dinegosiasikan.
"86" dalam Dunia Jurnalistik
Bagi jurnalis, terutama yang meliput isu kriminal dan hukum, “86” memiliki dua fungsi:
-
Bahasa kode – Menggambarkan penyelesaian kasus yang mencurigakan, tanpa harus secara langsung menuduh pihak tertentu.
-
Penanda budaya populer – Menarik perhatian pembaca karena istilah ini sudah dikenal luas.
Misalnya, dalam sebuah laporan investigasi, wartawan bisa menulis:
“Kasus ini diduga sudah di-86 sebelum masuk ke meja hijau.”
Kalimat ini secara implisit memberi sinyal bahwa ada dugaan penyelesaian kasus yang tidak wajar, tanpa menyebutkan kata “suap” secara langsung.
Mengapa Istilah Ini Melekat di Masyarakat?
Ada beberapa alasan mengapa istilah “86” bertahan dan bahkan semakin populer:
-
Sederhana dan mudah diingat – Dua angka saja sudah mewakili makna yang kompleks.
-
Fleksibel dalam konteks – Bisa dipakai secara serius, sarkastis, atau bercanda.
-
Didukung media dan hiburan – Baik TV, novel, maupun berita kriminal memperluas penggunaannya.
-
Relevan dengan realitas sosial – Sayangnya, praktik penyelesaian perkara lewat jalur “cepat” masih sering terdengar di masyarakat.
Dampak pada Persepsi Publik
Di satu sisi, “86” membantu masyarakat mengenali fenomena penyelesaian kasus yang tidak transparan.
Namun di sisi lain, penggunaan istilah ini secara berulang dalam konteks negatif dapat memperkuat stigma buruk terhadap aparat penegak hukum, meskipun tidak semua kasus “86” melibatkan praktik ilegal.
Apakah "86" Selalu Negatif?
Tidak selalu. Dalam konteks komunikasi internal kepolisian, arti “86” tetap positif sebagai tanda siap melaksanakan tugas. Negatif atau tidaknya bergantung pada konteks penggunaan.
-
Positif: “Laporan diterima, 86” → Tugas akan segera dijalankan.
-
Negatif: “Tenang, ini bisa kita 86” → Menyiratkan penyelesaian di luar prosedur resmi.
Pelajaran dari Evolusi Makna "86"
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa bersifat dinamis.
Kata atau angka bisa berubah makna seiring pergeseran budaya, kebiasaan, dan media yang menggunakannya.
Sama seperti kata “viral” yang awalnya bermakna penyebaran virus, kini lebih sering diartikan sebagai sesuatu yang populer di internet, “86” pun telah berevolusi dari sandi polisi menjadi simbol fenomena sosial.
Sandi Polisi yang Jadi Cermin Sosial
“86” bukan sekadar angka. Ia adalah cerita tentang bagaimana istilah teknis bisa bertransformasi menjadi idiom budaya, bahkan simbol kritik sosial.
Di kepolisian, ia berarti “dimengerti” dan “siap dilaksanakan”. Di masyarakat, ia bisa berarti “beres” atau “damai dengan uang”.
Dalam jurnalistik, “86” menjadi alat narasi yang kuat—bisa menegaskan kecurigaan, membungkus kritik, atau sekadar meminjam bahasa populer agar berita lebih menarik.
Akhirnya, istilah ini mengingatkan kita bahwa bahasa adalah cermin dari realitas sosial.
Dan ketika sebuah kode polisi berubah menjadi bahasa sehari-hari dengan makna yang lebih gelap, itu adalah sinyal bahwa masyarakat sedang berbicara—bukan hanya tentang bahasa, tapi juga tentang kepercayaan, keadilan, dan moralitas yang berlaku. **