Media kerap pakai inisial nama dan buramkan wajah pelaku kejahatan. Ternyata ada alasan hukum, etika, hingga perlindungan korban di balik praktik ini.
Ilustrasi. (*/Mangoci4lawangpost.com)
PERNAHKAH Anda membaca berita kejahatan lalu menemukan pelakunya hanya disebut dengan inisial nama? Bahkan wajahnya diburamkan?
Banyak orang bertanya-tanya, mengapa media tidak langsung menyebut identitas lengkapnya? Apakah ini untuk melindungi pelaku, atau ada alasan yang lebih dalam?
Di Indonesia, praktik ini bukan tanpa dasar.
Ada sejumlah pertimbangan hukum, etika jurnalistik, hingga perlindungan hak asasi manusia yang membuat media memilih cara ini.
Mari kita bedah satu per satu alasannya.
1. Asas Praduga Tak Bersalah
Alasan paling mendasar adalah asas praduga tak bersalah.
Dalam hukum Indonesia, setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana tetap dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Bayangkan jika media langsung menyebut nama dan menampilkan wajah pelaku sejak tahap penyidikan.
Publik bisa langsung menghakimi, padahal keputusan final belum ada.
Akibatnya, orang yang akhirnya terbukti tidak bersalah bisa tetap terkena stigma sosial seumur hidup.
Menggunakan inisial nama dan memburamkan wajah adalah bentuk perlindungan agar setiap orang mendapat proses hukum yang adil.
Dengan begitu, media tidak berubah menjadi "pengadilan opini publik" yang bisa menghancurkan masa depan seseorang.
2. Perlindungan Korban dan Keluarga
Alasan lain yang jarang dipikirkan adalah perlindungan korban dan keluarganya. Identitas pelaku yang terbuka justru bisa menyeret keluarga hingga korban ke sorotan publik.
Misalnya, dalam kasus kejahatan seksual, jika wajah pelaku dipublikasikan, besar kemungkinan publik akan bisa menebak siapa korban sebenarnya. Padahal, identitas korban seharusnya dilindungi penuh.
Selain itu, ada kasus di mana pelaku yang sudah dikenal publik malah menjadi sasaran amarah massa.
Tak jarang, keluarganya ikut terkena imbas sosial, bahkan bisa terancam keselamatannya.
3. Etika Jurnalistik dan Hak Privasi
Media di Indonesia tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Salah satu poin penting di dalamnya adalah penghormatan terhadap hak privasi setiap orang, termasuk pelaku kejahatan.
Walaupun seseorang diduga melakukan tindak pidana, ia tetap manusia yang memiliki hak untuk tidak diekspos secara berlebihan.
Memburamkan wajah dan memakai inisial adalah bentuk tanggung jawab media agar tidak ikut mempermalukan atau menghukum seseorang di luar sistem hukum.
Media profesional menyadari bahwa tugas mereka adalah menyampaikan informasi, bukan memperburuk keadaan atau menghakimi. Inilah mengapa praktik ini dianggap etis dan sejalan dengan prinsip HAM.
4. Pengecualian: Kapan Nama Lengkap Dipublikasikan?
Meski aturan umumnya jelas, ada beberapa pengecualian ketika media boleh menampilkan nama dan wajah pelaku.
Beberapa di antaranya adalah:
-
Kasus sudah inkrah → Jika pelaku sudah diputus bersalah dan vonisnya berkekuatan hukum tetap.
-
Kejahatan berat → Misalnya kasus terorisme, pembunuhan berencana, atau korupsi kelas kakap yang menyedot perhatian publik besar.
-
Pelaku buron → Dalam kondisi polisi meminta bantuan masyarakat untuk identifikasi dan penangkapan, identitas lengkap biasanya dipublikasikan.
Artinya, media tidak selalu "menyembunyikan" identitas pelaku. Ada saat-saat tertentu di mana kepentingan publik lebih besar daripada hak privasi individu.
5. Praktik di Negara Lain
Menariknya, praktik ini berbeda-beda di berbagai negara.
-
Eropa Barat: Banyak negara yang sangat ketat menjaga asas praduga tak bersalah. Media hampir selalu menggunakan inisial dan melindungi identitas pelaku sampai pengadilan memutuskan.
-
Amerika Serikat: Media lebih terbuka, nama lengkap pelaku sering dipublikasikan bahkan sejak awal penangkapan. Namun, praktik ini menuai kritik karena bisa menimbulkan stigma permanen.
-
Indonesia: Bisa dibilang berada di tengah. Umumnya media menahan identitas pelaku dengan inisial, tapi pada kasus tertentu seperti korupsi besar atau terorisme, nama lengkap tetap disebut.
6. Dampak Positif dan Negatif bagi Publik
Praktik pemburaman wajah dan penggunaan inisial bukan tanpa pro dan kontra.
Dampak positif:
-
Mencegah penghakiman sepihak.
-
Melindungi keluarga pelaku dan korban.
-
Menjaga media tetap berpegang pada etika jurnalistik.
Dampak negatif:
-
Publik terkadang merasa kurang informasi.
-
Bisa menimbulkan spekulasi liar di media sosial.
-
Jika pelaku adalah figur publik, masyarakat bisa merasa "ditutupi" kebenarannya.
Namun, jika ditimbang secara adil, manfaatnya lebih besar.
Media tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga punya tanggung jawab moral terhadap dampak sosial dari pemberitaan.
7. Peran Media Sosial dalam Membongkar Identitas
Meski media arus utama berusaha menjaga etika, kenyataannya media sosial sering kali membongkar identitas pelaku.
Warganet yang penasaran kerap melakukan "investigasi digital" sendiri dan menyebarkan informasi lengkap, termasuk foto, alamat, bahkan keluarga pelaku.
Hal ini bisa berbahaya karena data yang disebarkan belum tentu benar. Jika ternyata salah orang, reputasi seseorang bisa hancur tanpa dasar.
Di sinilah pentingnya literasi media: masyarakat perlu memahami perbedaan antara informasi resmi dari media dengan gosip liar di dunia maya.
Bukan untuk Melindungi, tapi Menjaga Keadilan
Jadi, ketika Anda melihat berita yang hanya menampilkan inisial pelaku dan wajah buram, jangan buru-buru menuduh media “melindungi pelaku”.
Faktanya, praktik ini adalah bagian dari tanggung jawab hukum, etika, dan moral.
Media bertugas menyampaikan fakta, tapi mereka juga wajib menjaga agar pemberitaan tidak menjadi alat penghakiman sebelum waktunya.
Di era digital yang serba cepat, penting bagi kita sebagai pembaca untuk memahami konteks ini.
Jangan hanya menuntut informasi, tapi juga pahami bahwa setiap orang—baik korban maupun pelaku—berhak atas perlindungan hukum dan privasi.
👉 Bagaimana menurut Anda? Apakah sebaiknya media tetap memakai inisial, atau justru lebih terbuka sejak awal? **