Literasi Digital Masuk Kurikulum Nasional: Langkah Berani Lindungi Anak dari Bahaya Dunia Maya

Wakil Ketua Komisi X DPR RI dorong literasi digital masuk kurikulum sekolah demi membentuk karakter anak yang cerdas, bijak, dan tahan terhadap dampak negatif dunia maya.

Ilustrasi. [Mangoci4lawangpost.com]

DI ERA
ketika anak-anak lebih fasih menggeser layar gawai daripada membalik halaman buku, isu literasi digital bukan lagi sekadar wacana akademis—ia sudah menjadi kebutuhan mendesak. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, baru-baru ini menyuarakan gagasan yang dianggap sebagai salah satu terobosan penting di dunia pendidikan: memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum nasional.

Langkah ini bukan muncul tanpa alasan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tengah dihadapkan pada tantangan besar di era digital. Di satu sisi, teknologi membawa peluang luar biasa bagi pendidikan. Namun di sisi lain, dunia maya penuh jebakan konten kekerasan, hoaks, manipulasi data, hingga paparan algoritma yang bisa memengaruhi pola pikir anak.

Dari Pelarangan Roblox ke Isu Besar Literasi Digital

Gagasan ini mencuat setelah Mendikdasmen Abdul Mu’ti mewacanakan pelarangan gim Roblox bagi siswa SD. Menurutnya, permainan tersebut mengandung banyak unsur kekerasan yang tidak pantas dikonsumsi anak-anak.

“Kalau main HP tidak boleh menonton kekerasan… yang main blok-blok (Roblox) itu jangan main, karena tidak baik,” tegas Mu’ti saat meninjau program Cek Kesehatan Gratis di SDN Cideng 2, Jakarta Pusat, Senin (4/8).

Pernyataan ini menyoroti satu fakta penting: anak-anak di usia sekolah dasar belum mampu membedakan adegan nyata dan fiksi. Mereka adalah peniru ulung, yang tanpa pikir panjang dapat mempraktikkan apa pun yang mereka lihat di layar—termasuk kekerasan.

Literasi Digital: Bukan Sekadar Kemampuan Teknis

Lalu Hadrian Irfani menekankan bahwa literasi digital bukan hanya kemampuan mengoperasikan perangkat atau memahami teknologi. Ia adalah keterampilan hidup yang melibatkan etika, kesadaran kritis, dan daya tahan mental.

“Literasi digital penting untuk ada di kurikulum sekolah sebagai bagian dari pendidikan karakter di era digital,” ujarnya.
Menurutnya, kurikulum ini harus responsif terhadap realitas sosial anak-anak masa kini. Artinya, pendidikan digital tidak bisa bersifat teoritis semata, melainkan harus kontekstual—mencakup situasi nyata yang dihadapi generasi muda.

Tantangan Kompleks Dunia Digital untuk Anak

Lalu memaparkan, tantangan digital yang dihadapi anak-anak saat ini jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Beberapa di antaranya:

  1. Kecanduan Gawai
    Anak-anak menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar, sering kali tanpa pengawasan.

  2. Penyebaran Hoaks
    Informasi palsu mudah menyebar di media sosial, dan anak-anak sering kali menjadi korban.

  3. Manipulasi Data Pribadi
    Anak belum memahami risiko membagikan informasi pribadi di internet.

  4. Dampak Algoritma Media Sosial
    Algoritma cerdas bisa membuat anak terjebak dalam gelembung informasi yang memperkuat perilaku atau pandangan tertentu.

Situasi ini menjadi alarm bahwa literasi digital harus diajarkan sedini mungkin. Tidak cukup hanya mengandalkan orang tua, karena tidak semua memiliki pemahaman yang memadai tentang dunia maya.

Sekolah sebagai Benteng Karakter Digital

Lalu menegaskan bahwa peran sekolah formal harus mengalami transformasi. Sekolah bukan lagi sekadar tempat transfer ilmu, tetapi juga menjadi benteng karakter digital.

Kurikulum literasi digital yang diusulkan akan mengajarkan:

  • Etika berinternet
    Mengetahui batasan sopan santun di dunia maya.

  • Keterampilan memilah informasi
    Memverifikasi kebenaran informasi sebelum membagikannya.

  • Pengelolaan waktu digital
    Mengatur durasi penggunaan gawai agar seimbang dengan aktivitas lain.

  • Kesadaran keamanan data
    Memahami bahaya membagikan informasi pribadi.

Melibatkan Banyak Pihak dalam Penyusunan Kurikulum

Agar tepat sasaran, Lalu mendorong penyusunan kurikulum literasi digital melibatkan psikolog, pendidik, komunitas digital, bahkan anak dan remaja itu sendiri. Menurutnya, keterlibatan anak penting agar materi yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan bahasa mereka.

Ia juga menekankan, pendekatan ini akan memudahkan siswa memahami risiko dunia digital tanpa merasa digurui.

Momentum Reformasi Pendidikan

Perkembangan teknologi menjadi momentum reformasi pendidikan nasional. Dengan literasi digital di kurikulum, Indonesia berpeluang mencetak generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga bijak dalam penggunaannya.

“Anak-anak kita harus punya filter di kepalanya. Filter yang membuat mereka bisa menikmati teknologi tanpa terseret dampak negatifnya,” ujar Lalu.

Tantangan Implementasi di Lapangan

Meskipun gagasan ini visioner, tantangan implementasinya tidak kecil. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Kesiapan Guru
    Guru perlu mendapat pelatihan literasi digital agar mampu mengajarkannya.

  2. Keterbatasan Infrastruktur
    Tidak semua sekolah memiliki fasilitas teknologi memadai.

  3. Keragaman Sosial Ekonomi
    Perbedaan akses teknologi antarwilayah bisa memengaruhi efektivitas pembelajaran.

  4. Evaluasi Berkelanjutan
    Kurikulum harus terus diperbarui mengikuti perkembangan teknologi.

Literasi Digital: Investasi Masa Depan

Di tengah derasnya arus informasi, literasi digital menjadi investasi jangka panjang untuk membentuk generasi yang tangguh, kritis, dan kreatif. Pemuatan literasi digital dalam kurikulum nasional bukan hanya tentang menghindari bahaya, tetapi juga membuka peluang anak untuk memanfaatkan teknologi secara positif.

Jika kurikulum ini berhasil diterapkan, Indonesia akan memiliki modal kuat untuk menghadapi tantangan era digital di masa depan. Anak-anak tidak lagi menjadi korban pasif dari perkembangan teknologi, melainkan aktor aktif yang memanfaatkannya untuk kebaikan.

Gagasan memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum nasional adalah langkah berani sekaligus strategis. Ia tidak hanya menyasar keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter anak yang tahan terhadap godaan negatif dunia maya. Dengan dukungan semua pihak—pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat—visi mencetak generasi bijak digital bukanlah mimpi yang mustahil. **