Wartawan 'Bodrex' Saat Pena Menjadi Senjata Pemerasan

Fenomena “Wartawan Bodrex” di Indonesia mengungkap sisi gelap profesi jurnalistik yang disalahgunakan demi keuntungan pribadi.

Ilustrasi. (*/Mangoci4lawangpost.com)

DI DUNIA
jurnalistik, pena ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. 

Di sisi lain, pena bisa berubah menjadi senjata berbahaya ketika dipegang oleh orang yang salah. Fenomena inilah yang melahirkan istilah populer di Indonesia: “Wartawan Bodrex”.

Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar lucu, karena menggunakan nama merek obat sakit kepala. 

Namun, di balik kelucuannya, ada realitas pahit: oknum yang menyalahgunakan identitas wartawan untuk memeras, menipu, dan meraup keuntungan pribadi

Alih-alih melayani publik dengan informasi yang benar, mereka justru membuat pusing para narasumber dan menodai citra profesi jurnalistik.

Asal Usul Istilah “Bodrex”

Kenapa disebut “Bodrex”? Analogi ini sederhana tapi tepat sasaran. 

Seperti obat sakit kepala yang namanya sudah melegenda, wartawan jenis ini “bikin pusing” pejabat, pengusaha, atau siapa pun yang jadi target mereka. 

Kehadiran mereka sering kali bukan untuk meliput, tapi untuk mencari masalah dan peluang “damai” dengan imbalan uang.

Fenomena ini tidak muncul secara tiba-tiba. 

Seiring berkembangnya dunia media, terutama media online yang sangat mudah dibuat tanpa verifikasi Dewan Pers, celah besar terbuka bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan nama “wartawan” demi kepentingan pribadi.

Ciri-Ciri Wartawan Bodrex: Antara Tipuan dan Tekanan

Tidak semua orang bisa langsung mengenali wartawan bodrex. 

Sebagian besar tampil dengan percaya diri, membawa kartu pers, bahkan mengenakan atribut layaknya jurnalis profesional. 

Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada sejumlah ciri khas yang kerap muncul:

1. Identitas Media Tidak Jelas

Mereka sering mengaku berasal dari media yang bahkan belum pernah terdengar namanya. 

Saat dicek, media tersebut tidak terdaftar di Dewan Pers, atau bahkan tidak memiliki situs resmi. 

Kartu pers yang dibawa biasanya hasil cetak sendiri, dengan desain seadanya namun penuh stempel palsu untuk meyakinkan orang awam.

2. Abai terhadap Kode Etik Jurnalistik

Kode Etik Jurnalistik mengatur bahwa jurnalis harus mengutamakan kebenaran, keadilan, dan kepentingan publik. 

Wartawan bodrex justru melakukan hal sebaliknya: mencari kesalahan, membesar-besarkan isu, dan memelintir fakta demi keuntungan pribadi. 

Mereka tidak peduli apakah berita yang mereka ancam untuk publikasikan benar atau tidak.

3. Modus Pemerasan yang Klasik tapi Efektif

Modusnya sederhana: datang ke kantor instansi atau perusahaan, bertanya-tanya soal dugaan kesalahan, lalu mengancam akan memberitakan hal buruk tersebut. 

Setelah itu, muncul tawaran “uang damai” atau “biaya operasional liputan” agar berita tersebut tidak tayang. 

Nominalnya bervariasi, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung “nilai” target.

4. Minim atau Tanpa Karya Jurnalistik

Wartawan profesional punya rekam jejak berita yang bisa diverifikasi. 

Wartawan bodrex? Hampir tidak ada. Jika pun ada, biasanya berita tersebut hanya formalitas untuk menunjukkan bahwa mereka “aktif” di lapangan. 

Fokus mereka lebih kepada aktivitas di luar pemberitaan, terutama mencari peluang memeras.

Dampak Negatif: Bukan Sekadar “Bikin Pusing”

Fenomena wartawan bodrex tidak hanya merugikan korban yang mereka peras, tapi juga menimbulkan kerusakan sistemik di dunia jurnalistik Indonesia.

  1. Citra Profesi Jurnalis Tercoreng
    Akibat ulah oknum ini, banyak pihak mulai memandang semua wartawan dengan rasa curiga. Padahal, mayoritas jurnalis bekerja dengan profesional dan penuh dedikasi.

  2. Melemahkan Kepercayaan Publik terhadap Media
    Ketika publik sering mendengar cerita tentang wartawan yang memeras, secara otomatis tingkat kepercayaan terhadap media ikut turun. Hal ini berbahaya karena media adalah salah satu pilar demokrasi.

  3. Menciptakan Rasa Takut pada Narasumber
    Pejabat, pengusaha, atau pihak lain yang pernah menjadi korban biasanya akan lebih tertutup pada jurnalis, termasuk yang benar-benar profesional. Akibatnya, informasi publik menjadi terhambat.

Mengapa Mereka Bisa Berkeliaran?

Pertanyaan yang sering muncul adalah: kalau sudah jelas melanggar hukum, kenapa wartawan bodrex masih bebas berkeliaran?

Ada beberapa faktor yang membuat mereka sulit diberantas:

  • Sulit Dibedakan di Lapangan
    Bagi orang awam, sulit membedakan wartawan profesional dan bodrex, apalagi jika oknum ini pandai berakting dan punya dokumen palsu yang meyakinkan.

  • Kurangnya Edukasi Publik tentang Media
    Banyak instansi atau masyarakat yang belum memahami cara memverifikasi keabsahan media dan wartawan.

  • Lemahnya Penegakan Hukum
    Meskipun tindakan mereka bisa dikategorikan sebagai pemerasan, sering kali korban memilih “damai” daripada melapor, karena khawatir justru menjadi bahan pemberitaan negatif.

Cara Mengenali dan Menghindari Wartawan Bodrex

Agar tidak menjadi korban, ada beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan:

  1. Verifikasi Media dan Wartawan
    Cek nama medianya di situs resmi Dewan Pers. Jika tidak terdaftar, waspadai.

  2. Tanya Surat Tugas Resmi
    Wartawan yang profesional biasanya datang dengan surat tugas liputan dari redaksi.

  3. Jangan Takut Ditekan
    Jika merasa diancam, catat semua pembicaraan, simpan bukti, dan jangan memberikan uang.

  4. Laporkan ke Aparat dan Dewan Pers
    Dewan Pers memiliki mekanisme pengaduan. Polisi juga bisa menindak tegas jika terbukti ada unsur pemerasan.

Upaya Bersama Memberantas Fenomena Ini

Menghapus wartawan bodrex dari peredaran bukan pekerjaan satu pihak saja. Perlu sinergi antara pemerintah, Dewan Pers, media, dan masyarakat.

  • Pemerintah bisa memperketat regulasi pendaftaran media dan memberikan sanksi tegas pada pelanggar.

  • Dewan Pers perlu gencar melakukan edukasi publik dan pelatihan etika jurnalistik.

  • Media wajib menjaga integritas dengan tidak sembarangan merekrut orang tanpa kompetensi jurnalistik.

  • Masyarakat harus berani melaporkan jika menjadi korban, agar ada efek jera.

Saatnya Kembalikan Martabat Pena

Pena, mikrofon, atau kamera bukan sekadar alat kerja—mereka adalah simbol tanggung jawab moral. 

Wartawan bodrex telah merusak kepercayaan publik, memanfaatkan celah hukum, dan menodai profesi mulia ini.

Namun, pemberantasan mereka bukan hal mustahil. 

Dengan edukasi, penegakan hukum, dan kesadaran bersama, kita bisa mengembalikan martabat jurnalistik di Indonesia. 

Karena sejatinya, wartawan sejati bukanlah pembuat pusing, melainkan pembawa pencerahan. **