Terungkap! Inilah 5 Istilah Satir Jurnalisme Indonesia yang Bikin Geleng Kepala

Istilah satir wartawan di Indonesia ungkap praktik tidak profesional. Dari wartawan amplop hingga jurnalisme kuning, inilah fenomena satir dunia media.

Ilustrasi. (*/Mangoci4lawangpost.com)

JURNALISME
sering digambarkan sebagai profesi mulia yang menjunjung tinggi kebenaran. 

Wartawan dianggap sebagai “anjing penjaga” demokrasi, yang bertugas mengawasi kekuasaan, mengabarkan fakta, dan menyuarakan kepentingan publik. 

Namun, di balik idealisme itu, dunia jurnalistik Indonesia ternyata punya sisi lain yang penuh kritik dan satire.

Masyarakat bahkan punya istilah-istilah khusus yang menyindir praktik tidak profesional wartawan. 

Bagi sebagian orang, istilah ini hanya sekadar guyonan. 

Tapi bagi kalangan pers, istilah satir tersebut menjadi tamparan keras bahwa masih ada masalah serius dalam menjaga integritas.

Lalu, apa saja sebenarnya istilah satir yang sering muncul di dunia jurnalisme Indonesia? Mari kita bongkar satu per satu.

1. Wartawan Amplop: Saat Etika Tergadaikan dengan Uang

Istilah wartawan amplop sudah lama jadi bahan perbincangan. Maksudnya sederhana: wartawan yang menerima “amplop” berisi uang atau fasilitas dari narasumber.

Fenomena ini muncul karena adanya hubungan transaksional antara wartawan dan pihak yang diberitakan. 

Amplop menjadi alat untuk "mengatur" berita. Bisa agar berita yang merugikan tidak terbit, atau agar berita positif tampil sesuai keinginan.

Dampaknya? Publik kehilangan informasi objektif. Berita jadi bias, penuh kepentingan, dan menjauh dari fakta. 

Di sisi lain, wartawan yang menerima amplop juga kehilangan wibawa dan integritas.

Bagi dunia jurnalistik, istilah ini adalah kritik paling keras. Ia mengingatkan bahwa profesi mulia bisa runtuh hanya karena setumpuk uang di dalam amplop.

2. Wartawan Bodrex: Bikin Pusing, Bukan Mencerahkan

Nama obat sakit kepala Bodrex ternyata melahirkan istilah satir populer: wartawan bodrex.

Siapa mereka? Biasanya adalah jurnalis gadungan atau "abal-abal". Mereka tidak terikat dengan media resmi, tidak punya kompetensi menulis, tapi suka mengaku wartawan demi keuntungan pribadi.

Ciri khas wartawan bodrex antara lain:

  • Datang ke acara hanya untuk minta uang liputan.

  • Mengancam narasumber dengan pemberitaan negatif.

  • Membuat bingung atau "pusing" karena perilaku yang meresahkan.

Keberadaan wartawan bodrex membuat profesi jurnalis kehilangan martabat di mata masyarakat. 

Mereka seolah menodai nama baik profesi dengan perilaku yang jauh dari prinsip jurnalistik.

3. Wartawan Nasi Bungkus: Liputan Demi Perut

Istilah berikutnya adalah wartawan nasi bungkus. Secara satir, istilah ini menggambarkan wartawan yang hanya datang ke acara untuk mendapatkan nasi kotak atau uang transport.

Mereka hadir bukan demi berita, tapi demi keuntungan kecil berupa makan siang gratis.

Sekilas terdengar lucu, tapi praktik ini mencerminkan degradasi idealisme jurnalistik

Wartawan semestinya berangkat liputan dengan tujuan mencari fakta, bukan sekadar "berburu nasi bungkus".

Kritik ini sering diulang oleh para senior jurnalis, bahwa generasi muda harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam mentalitas instan yang merusak profesionalisme.

4. Jurnalisme Kuning: Sensasi Mengalahkan Fakta

Tak hanya di Indonesia, istilah jurnalisme kuning atau yellow journalism sudah lama dikenal dunia. 

Di Indonesia, istilah ini digunakan untuk menyindir media yang lebih mementingkan sensasi ketimbang kebenaran.

Ciri-cirinya:

  • Judul bombastis, bahkan clickbait.

  • Isi berita tidak sepadan dengan judul.

  • Lebih menonjolkan drama, gosip, atau kontroversi.

  • Akurasi dan verifikasi fakta sering diabaikan.

Media jenis ini biasanya memburu klik, rating, atau viralitas semata. 

Bagi pembaca awam, mungkin menghibur. Tapi bagi kalangan jurnalis sejati, praktik ini jelas melemahkan kualitas informasi publik.

Tidak heran jika banyak orang menyindirnya sebagai "jurnalisme murahan".

5. Berita Pesanan: Ketika Media Jadi Alat Propaganda

Istilah terakhir adalah berita pesanan. Sesuai namanya, ini adalah berita yang dibuat berdasarkan permintaan pihak tertentu.

Biasanya, konten berita sudah diskenariokan sebelumnya. Wartawan hanya bertugas menulis ulang sesuai arahan. 

Isinya bisa untuk pencitraan tokoh, promosi produk, atau bahkan menjatuhkan lawan politik.

Praktik ini sangat bertentangan dengan prinsip independensi media. 

Berita pesanan membuat publik tidak lagi tahu mana informasi asli, mana yang hanya propaganda.

Tak heran, berita jenis ini sering disebut sebagai bentuk manipulasi opini yang berbahaya bagi demokrasi.

Refleksi Satire yang Harus Jadi Cermin

Mengapa istilah-istilah ini terus hidup di tengah masyarakat? Jawabannya sederhana: karena praktik tidak profesional itu masih sering terjadi.

Namun, ada sisi positifnya. Satire bisa jadi cermin. Dengan adanya kritik melalui istilah seperti wartawan amplop atau wartawan bodrex, dunia jurnalistik diingatkan agar tidak terjebak dalam praktik buruk yang mencoreng nama baik profesi.

Idealnya, jurnalis harus menjaga tiga hal penting: integritas, independensi, dan keberpihakan pada kebenaran. Tanpa itu, profesi wartawan hanya tinggal label tanpa makna.

Menjaga Marwah Jurnalisme

Dunia media memang tidak sempurna. Tapi kritik yang lahir dalam bentuk istilah satir bisa menjadi pengingat kolektif.

“Wartawan amplop”, “wartawan bodrex”, hingga “jurnalisme kuning” bukan sekadar lelucon. Mereka adalah alarm bahwa profesi wartawan harus terus berbenah.

Masyarakat berhak mendapatkan berita yang akurat, adil, dan bermutu. Jurnalis sejati punya tanggung jawab untuk memastikan hal itu.

Dan bagi para wartawan muda, satire ini semoga menjadi motivasi: jangan sampai nama Anda masuk dalam daftar istilah yang menyindir. **