Permendes terbaru atur Dana Desa bisa jadi jaminan hutang Kopdes Merah Putih. Apa risikonya bagi desa? Simak ulasan lengkapnya di sini.
Ilustrasi. (Mangoci4lawangpost.com)
SEBUAH kebijakan baru yang cukup mengejutkan lahir pada 12 Agustus 2025 lalu.
Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto, resmi menandatangani Permendes PDT Nomor 10 Tahun 2025.
Regulasi ini mengatur bahwa 30 persen Dana Desa (DD) dapat digunakan untuk menutup pinjaman Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, apabila koperasi tersebut gagal membayar cicilan pinjaman di bank.
Bagi sebagian masyarakat desa, keputusan ini mungkin terdengar sebagai peluang.
Namun, bagi sebagian lain, kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah Dana Desa yang seharusnya untuk pembangunan dan pemberdayaan justru bisa habis hanya untuk melunasi hutang?
Apa Itu Kopdes Merah Putih?
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami apa sebenarnya Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes).
Program ini merupakan inisiatif pemerintah pusat untuk memperkuat basis ekonomi desa.
Melalui Kopdes, desa didorong membangun koperasi yang bisa mengakses modal usaha dari bank-bank himpunan milik negara (himbara).
Namun, agar bank berani menyalurkan pinjaman, pemerintah menghadirkan skema jaminan.
Di sinilah Dana Desa masuk sebagai penopang. Jika koperasi gagal bayar, sebagian Dana Desa bisa dipakai menutup kekurangan angsuran.
Permendes Baru dan Polemik di Desa
Menurut isi Permendes PDT Nomor 10 Tahun 2025, ada beberapa poin penting:
-
30 persen Dana Desa dialokasikan sebagai cadangan pengembalian pinjaman Kopdes Merah Putih.
-
Penggunaan Dana Desa untuk menutup hutang hanya bisa dilakukan jika koperasi benar-benar gagal bayar.
-
Keputusan harus melewati musyawarah desa (Musdes) dan dituangkan dalam APBDes.
Dengan kata lain, dana desa tidak otomatis dipotong, tapi bergantung pada keputusan bersama warga desa.
Namun, meski sudah ada payung hukum, banyak pihak di daerah masih ragu.
Salah satunya datang dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Musi Rawas.
Rezha Dwi Sahara, S.IP, Kabid Fasilitasi, Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Desa, mengaku belum mendalami aturan tersebut secara detail.
“Saya belum mempelajari secara detil Permendes tersebut karena baru diterbitkan beberapa hari lalu,” ujarnya, dikutip dari Koran Linggau Pos.
Dua Regulasi, Satu Tujuan
Menariknya, selain Permendes, ada juga regulasi lain yang mendukung Kopdes Merah Putih.
Yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman untuk pendanaan koperasi.
Artinya, dua kementerian berbeda terlibat langsung dalam mengatur alur modal untuk Kopdes.
Kementerian Desa memberi payung hukum penggunaan Dana Desa sebagai jaminan, sementara Kementerian Keuangan memberi aturan teknis soal pinjaman.
Bagi pemerintah, sinergi dua regulasi ini diharapkan dapat mempercepat tumbuhnya koperasi desa sebagai pilar ekonomi rakyat. Tapi, di tingkat desa, masih banyak tanda tanya soal risiko dan transparansi.
Belum Ada Desa yang Ajukan Pinjaman
Menariknya, meski regulasi sudah terbit, di Kabupaten Musi Rawas belum ada satupun Kopdes Merah Putih yang mengajukan pinjaman modal ke bank.
“Sejauh ini belum ada yang mengajukan pinjaman modal ke bank. Mungkin masih dikaji di tingkat desa,” tegas Rezha
Artinya, desa-desa masih berhitung. Mereka tampaknya belum berani mengambil risiko, mengingat konsekuensi jika gagal bayar bisa membebani Dana Desa yang seharusnya dipakai untuk infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, hingga program sosial.
Dana Desa Tahap II Masih Diproses
Selain isu Kopdes, perkembangan pencairan Dana Desa tahun 2025 juga menjadi sorotan.
Di Kabupaten Musi Rawas, dari 186 desa, baru sekitar 50 persen yang mencairkan Dana Desa tahap II.
Pencairan tahap II ini menjadi penting karena banyak program desa menunggu kucuran dana tersebut.
Rezha menyebutkan batas akhir pencairan hingga Desember 2025. Artinya, desa-desa harus bergerak cepat jika tidak ingin tertunda.
Risiko Dana Desa Jadi Jaminan
Bila ditarik garis besar, ada beberapa risiko utama dari kebijakan ini:
-
Dana untuk pembangunan bisa berkurang. Jika koperasi gagal bayar, 30 persen Dana Desa terpakai untuk cicilan hutang.
-
Transparansi dipertaruhkan. Apakah semua warga tahu dan setuju jika Dana Desa digunakan sebagai jaminan?
-
Potensi konflik sosial. Bila ada kelompok yang menolak penggunaan dana untuk hutang, sementara Musdes tetap menyetujui, konflik bisa muncul.
-
Ketergantungan pada pinjaman. Alih-alih mandiri, desa bisa jadi terlalu bergantung pada skema pinjaman berbasis koperasi.
Harapan Pemerintah
Meski penuh risiko, pemerintah pusat tentu punya alasan kuat. Tujuan utama Kopdes Merah Putih adalah:
-
Membuka akses modal usaha bagi masyarakat desa.
-
Mengurangi ketimpangan antara desa dan kota dalam akses pembiayaan.
-
Mendorong ekonomi lokal agar lebih produktif.
Jika koperasi berhasil dikelola dengan baik, maka risiko penggunaan Dana Desa sebenarnya bisa ditekan.
Namun, kuncinya ada pada manajemen koperasi yang transparan dan partisipasi warga desa.
Bagaimana Seharusnya Desa Menyikapi?
Untuk desa-desa di Musi Rawas maupun daerah lain, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebelum benar-benar menggunakan skema ini:
-
Perkuat Musyawarah Desa (Musdes). Jangan hanya formalitas. Semua warga harus tahu dan terlibat.
-
Lakukan kajian kelayakan usaha. Jangan sampai koperasi mengajukan pinjaman tanpa rencana bisnis yang jelas.
-
Tingkatkan kapasitas pengurus koperasi. Pengelolaan profesional akan mengurangi risiko gagal bayar.
-
Pastikan transparansi APBDes. Warga berhak tahu berapa persen dana desa yang dialokasikan untuk jaminan hutang.
Antara Peluang dan Ancaman
Kebijakan menjadikan Dana Desa sebagai jaminan hutang Kopdes Merah Putih memang bagaikan dua mata pisau.
Di satu sisi, ia membuka peluang besar bagi desa untuk mendapatkan modal usaha.
Namun di sisi lain, ada ancaman nyata terhadap keberlangsungan pembangunan desa jika koperasi gagal bayar.
Kini, bola panas ada di tangan desa-desa. Apakah mereka berani mengambil risiko atau memilih tetap berhati-hati?
Satu hal yang pasti, keberhasilan kebijakan ini sepenuhnya bergantung pada transparansi, musyawarah, dan manajemen yang baik di tingkat desa. **