Diskusi JMSI Sumsel soroti perebutan iklan pemerintah antara media mainstream dan media sosial. Pemkot Palembang tegaskan hanya kerja sama dengan media terverifikasi.
Diskusi JMSI Sumsel soroti perebutan iklan pemerintah antara media mainstream dan media sosial. Pemkot Palembang tegaskan hanya kerja sama dengan media terverifikasi. Foto: Istimewa
PERSAINGAN perebutan iklan pemerintah antara media mainstream dan media sosial menjadi isu hangat dalam Diskusi Publik Musyawarah Daerah (Musda) Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Sumatera Selatan.
Acara ini digelar di Hotel Swarna Dwipa Palembang pada Sabtu (23/8/2025) dan menghadirkan sejumlah narasumber dari pemerintah, akademisi, hingga praktisi media.
Kepala Dinas Kominfo Palembang, Adi Zahri, menegaskan bahwa Pemerintah Kota Palembang sejak lama konsisten hanya bekerja sama dengan media yang terverifikasi Dewan Pers.
Menurutnya, aturan ini sudah dituangkan dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) sejak 2016.
“Sejak 2016 sudah ada Perwali yang mengatur kerja sama dengan media. Syaratnya jelas: harus terdaftar di Dewan Pers, punya kantor, ada slip gaji, dan jaminan kesehatan. Jadi, Pemkot tidak pernah menganggarkan iklan untuk medsos,” tegas Adi Zahri.
Regulasi Iklan Medsos Belum Ada
Hal senada disampaikan Kadis Kominfo Sumsel, Rika Efianti. Ia menilai regulasi mengenai iklan untuk media sosial memang belum tersedia.
Sebagai solusi, Pemerintah Provinsi Sumsel membentuk kanal informasi resmi di seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Langkah ini diharapkan bisa menjangkau masyarakat secara luas tanpa harus mengandalkan platform media sosial.
“Informasi pemerintah harus sampai ke publik dengan cara yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Peringatan dari Polda Sumsel
Dari sisi hukum, Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol Nandang Mu’min Wijaya, mengingatkan masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Menurutnya, berita yang disajikan media mainstream memiliki redaksi, wartawan, dan aturan hukum yang jelas.
“Sementara di medsos, pertanggungjawabannya ada pada pemilik akun. Kalau melanggar, bisa terjerat UU ITE,” ungkapnya.
Media Sosial Cepat, Tapi Rawan Hoaks
Dalam diskusi tersebut, Dr. Rahma Santhi Zinaida, Kaprodi Pascasarjana Universitas Bina Darma Palembang, menyoroti fenomena menjamurnya akun media sosial yang kini kerap dijadikan rujukan dalam penyebaran informasi pemerintah.
“Media sosial memang cepat dan viral, tapi tidak punya payung hukum. Sementara media mainstream—baik online, cetak, maupun radio—jelas memiliki badan hukum, sertifikasi Dewan Pers, dan wartawan yang berkompeten,” jelasnya.
Rahma juga mengingatkan bahwa media sosial berpotensi menjadi ladang hoaks.
Ia menekankan pentingnya literasi digital bagi pengelola akun medsos agar lebih bijak dalam menyebarkan informasi.
Nasib Media Mainstream
Pandangan kritis juga datang dari Maspril Aries, wartawan senior Sumsel.
Menurutnya, kehadiran media sosial membuat porsi iklan pemerintah untuk media mainstream semakin menyusut.
Padahal, kerja sama pemerintah dengan perusahaan pers bukan hanya soal bisnis, tetapi juga berkaitan dengan keberlangsungan hidup pegawai media.
“Perusahaan media punya pegawai, keluarga, ada sisi kemanusiaan yang harus diperhatikan. Sementara medsos tidak memiliki syarat formal seperti E-Katalog atau sertifikasi Dewan Pers,” katanya.
Jalan Tengah
Diskusi publik ini akhirnya menggambarkan dua sisi berbeda: media sosial yang cepat dan viral, serta media mainstream yang kredibel dan legal secara hukum.
Para pembicara sepakat, regulasi dan literasi digital menjadi kunci agar informasi publik dapat tersampaikan dengan benar, tanpa merugikan pihak-pihak yang telah menjalankan aturan formal di dunia pers. **