Abu Canting dan Karpet Merah Kehormatan

Abu Canting dan Karpet Mereah.
DI SEBUAH desa kecil bernama Ngantuk Hulu, hidup seorang lelaki paruh baya dengan nama yang cukup mengundang tanya, Abu Canting

Bukan, dia bukan keturunan bangsawan Arab, bukan juga pahlawan nasional. Ia hanyalah seorang tukang bentang karpet merah profesional

Profesi yang tidak umum, tapi jangan salah—ia menganggap pekerjaannya lebih mulia dari profesi jurnalis, guru, bahkan kepala desa.

"Tanpa saya, pejabat gak bisa jalan gagah di hajatan. Apa enaknya masuk tenda kalau nginjek tanah becek? Itu harga diri, Bro!" katanya suatu hari saat diwawancarai wartawan lokal yang sedang kehabisan bahan berita.

Abu Canting selalu siap dengan satu set kalimat puitis jika kamera dan mikrofon diarahkan padanya. Saking seringnya tampil di media, warga menjulukinya "Juru Bicara Karpet Nasional", meski ia tak pernah keluar dari Kecamatan Ngantuk Hulu.


Karpet, Cinta, dan Citra Diri

Pekerjaan membentang karpet merah bukan pekerjaan musiman bagi Abu Canting. Ia punya pelanggan tetap dari hajatan sunatan, kawinan, sampai pelantikan Ketua RT baru. 

Bahkan pernah suatu kali ia diminta membentang karpet untuk seekor kambing pejantan yang akan dikurban oleh Kepala Desa dalam acara 'Qurban Merakyat'.

Abu mengangguk serius kala itu, “Ini bentuk penghormatan terakhir. Semua makhluk hidup layak dihargai, apalagi yang mau dikorbankan.”

Namun, jangan harap Abu memberi diskon untuk karpetnya. Meski acara itu untuk ibadah, harga tetap naik 30 persen karena "melibatkan unsur spiritual." Begitulah dalihnya.

Sifat pelitnya ini jadi bahan gunjingan warga. Ia pernah menolak berbagi gorengan saat rapat RT dengan alasan, “Minyak lagi mahal, gorengan ini investasi masa depan.” Bahkan, saat warung sebelah bagikan teh gratis, Abu datang bawa termos sendiri, minta diisi setengah liter.


Penjilat Tanpa Malu

Dalam soal jabatan, Abu Canting adalah pencium tangan profesional. Tak ada pejabat yang datang tanpa disalami dengan senyum paling manisnya. Kepala Desa, Lurah, Camat, bahkan sopir mobil dinas pun tak luput dari jilatannya.

“Pak Camat ini orang paling visioner. Saya yakin, kalau beliau jadi Gubernur, jalan ke ladang saya bisa langsung di-aspal!” ucap Abu sambil menepuk-nepuk punggung Camat yang waktu itu cuma datang ke hajatan karena diundang makan sate.

Tak jarang ia bikin puisi dadakan:

"Wahai Pak Lurah, bijak bak pohon kurma,
Kami rakyat, Anda pena takdir semesta."

Puisi-puisi itu disisipkan dalam pidato sambutan, walau tak pernah diminta siapa pun.


Hasrat Menjadi Selebriti

Ada yang unik dari Abu Canting. Ia bernafsu luar biasa untuk diwawancarai. Bahkan saking niatnya, ia pernah menyewa wartawan gadungan untuk pura-pura liput dirinya.

"Mas, nanti pas saya bentang karpet, pura-pura tanya, ya. Bilang aja: ‘Bagaimana perasaan Anda membentangkan karpet untuk pesta anak Bupati?’" bisiknya kepada pemuda pengangguran yang baru ia bayar Rp25 ribu dan sepotong martabak basi.

Ia rela bayar spanduk bertuliskan:
“ABU CANTING: Bentangkan Mimpi Lewat Karpet Merah”

Wartawan asli sampai bingung. Saat mereka datang liput banjir, Abu tiba-tiba muncul pakai rompi relawan dan berpose dramatis di tengah air, meski air itu cuma setinggi mata kaki.

“Banjir ini bukan sekadar air, ini simbol tantangan hidup yang harus kita bentangkan seperti karpet merah!” katanya dengan mimik penuh penderitaan yang diulang-ulang di IG Story-nya.


Kudeta Karpet dan Drama Hajatan

Puncak drama Abu terjadi saat sebuah keluarga kaya di desa memutuskan menyewa jasa tukang karpet dari luar kota. 

Abu merasa dikhianati. Ia bahkan datang ke hajatan itu dengan jaket hitam dan kacamata hitam, seolah sedang mengintai operasi intelijen.

“Ini pelecehan profesi lokal! Karpet saya asli beludru, bukan KW 3 dari kota!” teriaknya sambil live di Facebook.

Ia mengumpulkan warga dan bikin aksi protes bertajuk:
“SAVE KARPET LOKAL, TOLAK TUKANG KOTA”

Tapi tak satu pun warga yang ikut. Mereka sibuk makan nasi kebuli di hajatan tadi.


Akhir yang Tidak Epik, Tapi Lucu

Suatu hari Abu Canting diundang khusus ke kantor desa untuk acara penghargaan. Ia datang dengan setelan jas pinjaman, rambut disemir warna ungu (katanya biar “nyeni”), dan membawa poster bertuliskan:
“Saya Bangga Jadi Tukang Karpet Merah!”

Saat dipanggil naik panggung, ia sudah siap pidato tiga halaman, lengkap dengan puisi dan anekdot.

Tapi ternyata...

Penghargaan itu bukan untuknya.

Ternyata namanya cuma disebut karena jadi sponsor tenda.

Abu berdiri beku. Mikrofon di tangan. Mulut terbuka tapi tak ada suara. Warga mulai bisik-bisik. Seorang anak kecil tertawa. Abu tetap berdiri, berusaha tetap elegan, lalu berseru:

"Terima kasih… atas kepercayaan ini. Karpet merah akan terus saya bentangkan, meski dunia tak selalu menyambut saya dengan senyuman!”

Ia lalu turun panggung dengan gaya Presiden turun dari mimbar kenegaraan. Dan sejak hari itu, warga makin sering menertawakan, namun diam-diam, mereka tetap butuh jasanya.


Penutup: Warisan Abu Canting

Abu Canting mungkin bukan siapa-siapa di dunia perpolitikan. Tapi ia percaya satu hal:

"Hidup ini seperti karpet merah. Kalau tak dibentangkan, tak akan ada yang jalan dengan kepala tegak."

Kini di dinding ruang tamunya, tergantung foto dirinya sedang meletakkan karpet, diberi caption besar:

“Pahlawan Tanpa Tanda Guling.”