Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bantuan atau Ketergantungan? Menyikapi Mental Peminta di Tengah Masyarakat

Ilustrasi.
ALHAMDULILLAH, Ramdan tahun ini sudah berlalu dan kita semua masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk merayakan Idul Fitri 1445 AH. Tentu banyak cerita suka dan duka selama satu tahun terakhir yang kita lalui dari 1 Syawal tahun lalu hingga 1 Syawal tahun ini. 

Secara umum, kontestasi politik menjadi cerita yang paling seru melatarbelakangi perjalanan setahun terakhir. Namun bukan ini yang akan kita bahas, tapi sebuah mindset dari penulis yang mungkin berbeda dari para pembaca yang budiman.

Sebuah khotbah yang disampaikan khotib shalat ied di salah satu masjid, di mana penulis juga menjadi makmum di sana, ada hal yang menarik yang disampaikan sang khotib, soal mental di tengah masyarakat kita. Yakni mental peminta.

Entah sadar atau tidak, saat ini masyarakat kita sudah digiring ke arah mental tersebut melalui berbagai jenis bantuan (tidak tepat sasaran) bagi masyarakat kalangan bawah, seperti BLT, PKH, Bantuan Pangan, dan berbagai jenis bantuan sosial yang tidak produktif lainnya.

Tentu tidak salah dengan berbagai jenis bantuan tersebut, kalau saja bantuan itu benar-benar selektif dan dilatarbelakangi dengan niat ingin membantu masyarakat yang benar-benar miskin dan tidak memilki kemampuan untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Bukan ada latar belakang di situasi politik. (coba tanya hati nurani anda).

Tanpa didorongpun, mental minta-minta atau juga mental gratisan, telah ada embrionya di tengah mayarakat kita dan sekali lagi penulis sebut, tidak ada yang salah dengan itu. Siapa juga yang tidak mau mendapatkan sesuatu yang gratisan.

Namun yang jadi pertanyaan, apakah yang terjadi jika suka yang gratisan ini menjadi kebablasan, menjadi kebiasaan dan mendarah-daging membentuk mental miskin membentuk kepribadian di tengah masyarakat?

Dalam definisi yang sederhana, miskin adalah kondisi di mana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, papan, dan pangan.

Berbeda dengan keadaan finansial yang terbatas, mental miskin adalah sebuah pola pikir yang tertanam dalam hati seseorang. Ini adalah sikap mental yang didasarkan pada rasa tidak memiliki, tidak bisa, dan tidak mampu. 

Meskipun tak terukur secara materi, dampak mental miskin ini seringkali lebih merusak daripada keterbatasan finansial itu sendiri.

Mengapa demikian? Karena memiliki mental miskin dapat memberikan pengaruh yang buruk pada kehidupan sehari-hari. Salah satu dampak utamanya adalah sulitnya untuk bersyukur dengan keadaan. 

Seseorang dengan mental miskin cenderung melihat segala sesuatu dari sudut pandang negatif, membuatnya sulit untuk menemukan hal-hal positif dalam hidupnya.

Lebih dari itu, mental miskin juga dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir maju dan berusaha. 

Orang dengan mindset ini sering kali merasa terjebak dalam lingkaran keputusasaan dan tidak memiliki motivasi untuk berusaha mencapai impian mereka. Mereka cenderung merasa bahwa keberhasilan adalah sesuatu yang di luar jangkauan mereka.

Tidak hanya itu, dampak mental miskin juga dapat meningkatkan tingkat stres seseorang. Merasa tidak mampu mengatasi tantangan hidup dapat menyebabkan rasa cemas dan khawatir yang berlebihan, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental seseorang.

Namun, yang lebih mencemaskan adalah bahwa mental miskin bukan hanya memengaruhi individu yang mengalaminya, tetapi juga dapat menjadi benalu bagi orang-orang di sekitarnya. 

Orang dengan sikap mental ini cenderung menarik energi positif dari lingkungan mereka, membuat interaksi menjadi sulit dan menciptakan atmosfer negatif di sekitarnya.

Sebagai penutup, apakah kita rela bangsa ini menjadi bangsa bermental msikin yang selalu berharap dengan berbagai bantuan yang diberikan dan difasiliitasi oleh negara? wasalaam!