Ilmu Komputer Tak Lagi Jadi Jurusan Emas? Ini Fakta Mengejutkannya

Popularitas Ilmu Komputer meredup di era AI. Lulusan makin sulit dapat kerja, tapi peluang baru justru terbuka di bidang lain.

Ilustrasi. [Mangoci4lawangpost.com]

DULU,
jurusan Ilmu Komputer sering dianggap sebagai “jalan tol” menuju karier bergaji tinggi. Tawaran gaji fantastis, peluang kerja luas, dan gengsi di industri teknologi membuat jurusan ini jadi primadona para calon mahasiswa. Namun, gelombang perubahan yang dipicu perkembangan kecerdasan buatan (AI) kini membuat masa depan Ilmu Komputer tak seindah bayangan.

Fenomena ini bukan sekadar gosip. Data terbaru dari The Federal Reserve Bank of New York menunjukkan bahwa tingkat pengangguran lulusan Ilmu Komputer di Amerika Serikat mencapai 6,1%. Angka ini menempatkan jurusan ini di peringkat ketujuh dengan tingkat pengangguran tertinggi, hanya sedikit lebih baik dari Fisika (7,8%) dan Antropologi (9,4%). Bahkan, Teknik Komputer—yang sering tumpang tindih dengan Ilmu Komputer—mencatat angka lebih buruk lagi, yaitu 7,5%.

Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

AI: Sahabat atau Musuh bagi Lulusan Ilmu Komputer?

Ironisnya, teknologi AI yang dulu diharapkan membuka peluang kerja baru justru jadi salah satu penyebab surutnya prospek kerja lulusan IT. Sejak pertengahan 2023, banyak perusahaan teknologi besar seperti Amazon dan Google melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) masif. Dampaknya, lowongan untuk fresh graduate menyempit, sementara jumlah lulusan terus membengkak.

Matthew Martin, ekonom senior di Oxford Economics, menjelaskan ada ketidakseimbangan serius antara permintaan dan pasokan tenaga kerja di sektor teknologi. “Ini sangat terkonsentrasi di sektor teknologi,” ujarnya.

AI juga mulai mengotomatisasi pekerjaan yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh programmer manusia. Banyak tugas coding dasar kini bisa diselesaikan oleh algoritma, membuat kebutuhan tenaga kerja di level entry menurun.

Kata Pedas Para Ahli

Michael Ryan, seorang pakar keuangan, menilai masalahnya bukan hanya pada pasar kerja, tapi juga pada kualitas lulusan. “Setiap anak dengan laptop merasa mereka adalah Zuckerberg berikutnya, tetapi kebanyakan tidak dapat memiliki level kompetensi paling minimal sekalipun,” katanya kepada Newsweek.

Sementara itu, Bryan Driscoll, konsultan SDM, menyoroti fenomena “mimpi palsu” yang dibangun di sekitar jurusan ini. “Jurusan Ilmu Komputer telah lama dimanjakan dengan mimpi yang tidak sesuai kenyataan,” ungkapnya. Menurut Driscoll, realitanya jauh lebih keras: utang mahasiswa membengkak, sementara pasar lebih mengutamakan koneksi dan reputasi ketimbang potensi.

Data yang Mengguncang

Laporan Oxford Economics mengungkap fakta mencengangkan: lulusan baru yang menganggur menyumbang 12% dari kenaikan 85% tingkat pengangguran di AS sejak pertengahan 2023, padahal mereka hanya 5% dari total angkatan kerja. Angka ini menegaskan bahwa masalahnya bukan sekadar sementara, tapi sudah menjadi tren mengkhawatirkan.

Di sisi lain, jurusan-jurusan yang dulu dianggap “kurang bergengsi” justru mencatat tingkat pengangguran rendah. Ilmu Gizi, Jasa Konstruksi, dan Teknik Sipil hanya berada di kisaran 1% hingga 0,4%. Artinya, peluang kerja di bidang ini justru lebih stabil dan aman.

Pesan Mengejutkan dari Raja Chip AI

Jensen Huang, CEO Nvidia—perusahaan raksasa chip AI—bahkan membuat pernyataan yang cukup kontroversial. Dalam wawancara dengan CNBC International, ia mengatakan bahwa manusia tak perlu lagi belajar Ilmu Komputer untuk membuat program di masa depan.

“Kami akan membuat komputer jadi lebih pintar, sehingga tak ada lagi yang perlu belajar ilmu komputer untuk membuat pemrograman,” kata Huang.

Tujuan AI, menurutnya, adalah membuat komputer memahami bahasa manusia, bukan sebaliknya. Artinya, siapa pun kelak bisa “memerintahkan” komputer tanpa harus menguasai bahasa pemrograman yang rumit.

Apakah Robot Akan Menggantikan Manusia?

Meski begitu, Huang menolak anggapan bahwa robot akan sepenuhnya mengambil alih pekerjaan manusia. Menurutnya, AI dan robot justru membuka lapangan kerja baru. Robot canggih tetap memerlukan pelatihan dari manusia, dan proses ini akan menciptakan peran baru di dunia industri.

“Ketika perusahaan lebih produktif, pendapatan mereka akan naik. Ketika itu terjadi, mereka akan merekrut lebih banyak karyawan,” tegasnya.

Mengapa Ilmu Komputer Masih Layak Diperhitungkan

Meski tren pengangguran meningkat, Ilmu Komputer tetap menjadi salah satu bidang yang paling cepat berkembang menurut Pusat Statistik Pendidikan Nasional AS. Tantangannya adalah bagaimana lulusan mampu beradaptasi dengan era AI, bukan sekadar menguasai coding konvensional.

Beberapa strategi yang bisa dilakukan calon mahasiswa dan lulusan IT antara lain:

  1. Fokus pada kemampuan lintas disiplin
    Menggabungkan Ilmu Komputer dengan keahlian lain seperti psikologi, desain, atau manajemen proyek akan meningkatkan daya saing.

  2. Menguasai AI dan machine learning
    Daripada takut digantikan AI, pelajari cara mengembangkan, melatih, dan memanfaatkan teknologi tersebut.

  3. Meningkatkan soft skill
    Kemampuan komunikasi, kepemimpinan, dan berpikir kritis tetap menjadi nilai tambah yang tak tergantikan mesin.

  4. Belajar sepanjang hayat
    Industri teknologi berubah cepat. Lulusan yang enggan belajar hal baru akan tertinggal.

Masa Depan Pilihan Jurusan

Bagi calon mahasiswa, memilih jurusan kini tak bisa hanya berdasarkan tren sesaat. Perlu mempertimbangkan stabilitas industri, kebutuhan pasar, dan peluang jangka panjang. Ilmu Komputer mungkin bukan lagi “jurusan emas” yang otomatis menjamin masa depan cerah, tapi bagi mereka yang adaptif, peluang tetap terbuka lebar.

Pertanyaannya sekarang: apakah Anda akan tetap memilih Ilmu Komputer, atau mulai melirik jurusan lain yang mungkin justru lebih aman dari badai AI? **