Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggugat Kualitas Jurnalisme di Daerah, Krisis Identitas Profesi Wartawan di Masa Kini

Foto: dok/Mangoci4lawang Post
SUATU
ketika, setahun sebelum meletusnnya masa reformasi, seorang sahabat yang sudah lama tidak bertemu, bertandang ke rumah saya. 

Saat itu kondisi saya masih dalam kondisi miris-semirisya karena masih menyadang status pengangguran yang dianggap oleh para tetua kampung, sebagai pemuda yang tidak punya masa depan yang cendrung bakal menjadi pemuda beban bangsa dan negara di masa depan.

Kedatangan seorang sahabat ini tentu menjadi penghibur tersendiri dan tentu saja memberikan suntikan semangat tersendiri bagi saya yang kala itu tidak hanya menyadang status pengangguran akut, namun juga sedang terhipnotis oleh panjang angan-angan namun tidak ada eksen sama sekali.

Jika siang hari cuma tidur bermimpi menjadi orang sukses tanpa daya upaya. Dan sebaliknya jika malam berkumpul dengan kawan-kawan sesama pengangguran sembari memetik gitar bernyanyi lagu-lagu hits masa itu, membayangkan bahwa diri adalah penyanyi dan player band ngetop.

Ada yang menarik dari kedatangan sahabat lama yang bertandang tersebut. Meggunakan sepeda motor (zaman itu jarang ada anak muda bersepeda motor), berkemeja legan panjang dan celana panjang berbahan drill. Sahabat saya ini tentu saja terlihat sudah mapan dengan tampilannya itu.

Namun bukan itu yang menjadi fokus pandangan saya ke dia. Tapi ada pada topi yang dia kenakan yang bergambar lambang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di bagian depan topi itu.

Dengan cepat saya langsung menduga jika sahabat saya ini sudah menjadi seorang jurnalis yang kala itu profesi jurnalis adalah profesi yang sangat disegani oleh masyarakat kalangan bawah hingga kalangan atas, yang tak kalah diseganinya dari profesi seorang anggota ABRI (tentara, red).

Singkat cerita, terjadilah obrolan antara saya dan teman saya ini. Dia mengakui jika benar sudah menjadi jurnalis di salah satu surat kabar nasional dan kedatangan dirinya ini selain ingin bersilaturahmi dengan sanak saudara dan teman lama seperti saya, juga menjalankan tugas liputan.

Ada rasa banga yang saya rasakan saat itu kepada teman saya ini dan berharap kedepannya saya dapat mengikuti jejak dia menjadi seorang jurnalis. Sebuah profesi yang sangat terhormat di tengah-tengah masyarakat di kala itu.

Tahun berganti tahun, hingga pada akhirnya nasib juga membawa saya menjadi seorang jurnalis yang dimulai dari menjadi wartawan mingguan terbitan Medan, lalu pindah ke media mingguan terbitan Nasional dan akhirnya menjadi wartawan di salah satu surat kabar cetak daerah di Sumsel yang cukup ternama.

Dalam perjalanan karir, saya termasuk yang cukup beruntung. Karena era media cetak masih berjaya.

Saya masih sempat merasakan bagaimana rasanya disegani masyarakat bahkan hingga para pejabat setingkat bupati bahkan gubernur.

Hal tersebut lantaran profesi wartawan tidak dapat dipandang sebelah mata, karena memang mampu membentuk opini di tengah masyarakat terhadap kinerja pejabat pemerintah, misalnya.

Sebagai bayangan, sebuah informasi benar yang berseleweran di tengah masyarakat, belum dapat dianggap benar jika belum terpampang jelas di koran cetak. Informasi itu akan menjadi valid jika sudah ada di koran dan menjadi kewajiban tersendiri untuk dipercayai oleh masyarakat.

Dampaknya, oplah koran cetak mampu membuat orang-orang yang terlibat dalam industri ini menjadi sejahtera, termasuk wartawan dan para agen serta loper koran juga merasakan itu.

Tentu saja di dunia ini, tidak ada yang abadi. Sebuah pepatah yang menyebut, setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Demikian juga media cetak, yang tergeser oleh masanya digitalisasi, dan secara berangsur media cetak tergeser peranya oleh media online.

Kemudahan akses dan berbiaya produksi yang murah, membuat media online kini telah menggeser peran media cetak. Tidak heran jika kini sudah banyak perusahaan media cetak gulung tikar karena kalah bersaing dengan media online.

Lalu, bagaimana dengan wartawan? tentu saja seharusnya profesi wartawan tidaklah terganggu. Karena wartawan bisa tetap menjalankan aktifitas jurnalistiknya seperti biasa meski platform yang digunakan menjadi berbeda, dari cetak ke digital.

Namun maaf, bukan sesederhana itu! sebab munculnya media online yang pastinya berbiaya murah, membuat media online menjamur bak jamur di musim penghujan. 

Setiap orang dengan mudahnya mendirikan media online. Cukup bermodal badan hukum, sewa hosting dan beli domain, media online pun berdiri.

Sayangnya, kemudahan inilah yang kini menjadi ancaman bencana bagi profesi jurnalis. Kurangnya SDM yang mumpuni di Indonesia pada bidang jurnalistik, memaksa pemilik media online ini (tidak seluruhnya) secara serampangan merekrut pewarta.

Bukan hanya omong kosong jika saat ini banyak ditemui wartawan yang tidak memiliki kemampuan di dunia jurnalistik, berseleweran di kantor-kantor pemerintahan. Sialnya, jumlah mereka ini tidaklah sedikit.

Rendahnya kualitas para 'wartawan' inilah secara berangsur merubah cara pandang masyarakat terhadap profesi wartawan secara keseluruhan. Wajar, jika profesi ini kini berada di titik nadir yang tidak bisa lagi menjadi profesi yang membanggakan.

Lebih sialnya lagi, beberapa oknum wartawan yang dulunya merupakan wartawan yang profesioanal, mulai tergoda manisnya bermain proyek fisik pemerintah daerah, alih-alih memperbaiki citra profesi jurnalistik yang dulu sangat dibanggakanya. (*/)