Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mitos Jawa Gerhana Bulan, Dipercaya Sejak Abad ke-9 Masehi

GERHANA bulan adalah fenomena alam yang telah memukau dan membingungkan manusia sejak zaman kuno. Di berbagai budaya di seluruh dunia, gerhana bulan sering dihubungkan dengan mitos dan kepercayaan kuno yang unik. Salah satu budaya yang memiliki mitos tersendiri mengenai gerhana bulan adalah masyarakat Jawa.

Mitos gerhana bulan dalam masyarakat Jawa telah ada sejak zaman kuno, dan mitos ini berkembang setelah ditemukannya sebuah prasasti bersejarah yang menceritakan peristiwa gerhana bulan. 

Prasasti tersebut adalah salah satu yang tertua dan diperkirakan bertarikh pada abad ke-9, tepatnya pada tanggal 11 Maret 843 Masehi. Prasasti ini secara jelas menggambarkan betapa pentingnya peristiwa gerhana bulan bagi masyarakat Jawa.

Prasasti ini menggambarkan peristiwa yang disebut "candragrahana" atau Gerhana Bulan pertama, yang dianggap sebagai peristiwa sangat penting dalam kehidupan masyarakat Jawa kuno. Keberadaan prasasti ini menjadi bukti awal yang menunjukkan bahwa gerhana bulan telah memainkan peran penting dalam kebudayaan dan kepercayaan masyarakat Jawa sejak ribuan tahun yang lalu.

Salah satu mitos yang terkait dengan gerhana bulan dalam kebudayaan Jawa adalah cerita tentang raksasa yang disebut Batara Kala. Batara Kala adalah sosok yang memiliki watak jahat dan dalam mitos ini, ia menelan Bulan. Relief yang menggambarkan adegan ini dapat ditemukan di Candi Belahan atau Sumber Tetek. Mitos Batara Kala yang menelan bulan ini telah menjadi kepercayaan turun-temurun bagi masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa percaya bahwa saat gerhana bulan terjadi, mereka harus melakukan sejumlah tindakan untuk mengusir Batara Kala dan memulihkan Bulan. 

Salah satu tindakan yang dilakukan adalah memukul lesung padi. Ini diartikan sebagai tindakan memukul jasad Batara Kala yang masih hidup agar ia mual dan memuntahkan Bulan yang telah ditelannya. Dalam cerita mitos, Batara Kala diyakini masih hidup namun telah menjelma menjadi lesung padi.

Selain memukul lesung, ada juga mitos lain yang berlaku saat gerhana bulan. Wanita hamil, misalnya, dilarang keluar rumah saat gerhana bulan terjadi. 

Kehadiran wanita hamil di luar rumah saat gerhana bulan dapat berdampak buruk, karena dikaitkan dengan kepercayaan bahwa jabang bayi yang dikandung akan memiliki bibir sumbing, menyerupai bentuk gerhana. 

Untuk melindungi jabang bayi dan menolak datangnya penderitaan, wanita hamil juga diharuskan membuat bubur merah putih. Bubur ini diyakini memiliki kekuatan untuk menolak berbagai bencana, seperti musim paceklik, wabah penyakit, atau penderitaan lainnya.

Mitos dan kepercayaan seputar gerhana bulan ini adalah bagian dari warisan budaya yang kaya dalam masyarakat Jawa. 

Meskipun zaman telah berubah, kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini. Ini menggambarkan bagaimana fenomena alam seperti gerhana bulan dapat membentuk dan memengaruhi budaya serta kepercayaan manusia selama berabad-abad. (*)