![]() |
| Ilustrasi |
DI BALIK layar kerja jurnalistik yang kerap terlihat penuh adrenalin, ada sisi kelam yang masih menghantui ruang publik kita: upaya menghalangi wartawan menjalankan tugasnya.
Tindakan ini bukan hanya merampas kemerdekaan pers, tapi juga secara langsung merenggut hak publik untuk tahu. Dan parahnya, praktik itu masih terus terjadi—seringnya, tanpa disadari.
Padahal, negara sudah tegas: menghalangi tugas jurnalistik adalah pelanggaran hukum. UU Pers berdiri sebagai pagar kuat, namun pagar itu kerap diterobos.
Ketika Jurnalis Menjadi Sasaran, Dari Pukulan hingga Teror Sunyi
Di lapangan, ancaman terhadap wartawan punya banyak wajah. Ada yang kasar, ada pula yang halus tapi menghantam mental.
1. Kekerasan Fisik: “Diamkan Kameranya!”
Bayangkan, sedang fokus mengabadikan momen, tiba-tiba kamera dirampas atau dihancurkan. Bahkan, tak jarang tubuh wartawan terkena bogem mentah. Aksi-aksi brutal semacam ini adalah bentuk paling telanjang dari penghalangan tugas jurnalistik.
2. Perampasan Alat Kerja: Liputan Hilang Seketika
Mulai dari kamera, ponsel, memori penyimpanan, hingga catatan lapangan—semuanya bisa “menghilang” di tangan pelaku. Lebih ekstrem lagi, hasil liputan dipaksa dihapus. Ini bukan sekadar perampasan barang, tapi perampasan informasi publik.
3. Intimidasi dan Ancaman: Serangan dari Balik Kata
Tak selalu berupa kekerasan fisik. Kadang hanya satu kalimat tajam sudah cukup membuat jurnalis terdiam. Ancaman verbal, tulisan bernada teror, hingga pencabutan kartu liputan secara sewenang-wenang adalah bentuk tekanan yang menggerus kebebasan pers sedikit demi sedikit.
4. Pelarangan Liputan: Pintu yang Ditutup untuk Publik
Ketika lokasi yang seharusnya terbuka untuk publik tiba-tiba dipasangi palang bagi jurnalis, maka yang dibungkam bukan hanya wartawannya—tapi publik. Pembatasan semacam ini memutus rantai informasi yang seharusnya mengalir bebas.
5. Sensor dan Pembredelan: Luka Lama yang Masih Mengintai
Meski era otoritarian dianggap berlalu, bentuk pembredelan modern bisa muncul lewat intervensi terselubung, tekanan politik, atau kriminalisasi terhadap karya jurnalistik.
UU Pers Bicara Tegas: “Halangi Wartawan, Siap-Siap Dibui”
Ada alasan kenapa Pasal 18 ayat (1) UU Pers begitu keras. Isinya jelas: siapa pun yang melawan hukum dan sengaja menghambat tugas jurnalistik bisa dipidana hingga 2 tahun penjara atau didenda maksimal Rp500 juta.
Regulasi ini bukan sekadar peringatan. Ia adalah benteng yang melindungi Pasal 4 ayat (2) dan (3), yang menyatakan bahwa pers:
-
bebas dari penyensoran dan pelarangan publikasi,
-
berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Dan sebagai catatan tambahan: bila penghalangan itu disertai penganiayaan atau ancaman kekerasan, KUHP ikut bicara. Sanksinya bisa berlapis.
Ketika Jurnalis Dibungkam, Publik Ikut Dibutakan
Setiap kekerasan terhadap wartawan, setiap alat kerja yang dirampas, setiap larangan liputan—semuanya punya efek domino. Bukan hanya melukai satu profesi, tetapi juga memutus aliran informasi yang menjadi hak publik.
Karena itu, jika Anda atau rekan mengalami intimidasi, jangan berjalan sendirian. Lapor polisi, hubungi organisasi profesi seperti AJI, PWI, IJTI, atau minta pendampingan LBH Pers. Suara Anda penting—dan harus dijaga. **
