
Ilustrasi
DI TENGAH derasnya arus informasi dan opini publik yang berseliweran di media sosial, tulisan opini di ruang redaksi sering ditanyai legitimasi jurnalistiknya.
Apakah sebuah tulisan yang berisi pendapat personal masih bisa disebut karya jurnalistik?
Banyak orang mungkin mengira jawabannya adalah “tidak objektif, jadi bukan.” Kenyataannya justru sebaliknya.
Tulisan opini—mulai dari artikel opini, kolom, hingga editorial—telah lama menjadi pilar penting dalam jurnalisme modern.
Bukan sekadar curahan pendapat, ketiganya membawa analisis yang dibangun dari pengalaman, keahlian, dan kerangka berpikir penulis.
Di banyak media, rubrik opini justru menjadi ruang yang paling dicari pembaca karena menawarkan sudut pandang baru atas isu-isu yang sedang hangat.
Artikel opini, misalnya, hadir sebagai wadah bagi penulis untuk memberikan analisis atau interpretasi atas suatu peristiwa.
Kolom menjadi ruang reguler bagi penulis yang sudah dikenal dengan kekhasan suaranya.
Sementara editorial mewakili “suara resmi” media, sering kali menjadi salah satu produk paling strategis dalam memengaruhi wacana publik.
Meski penuh pendapat, tulisan opini tetap harus tunduk pada standar jurnalistik: akurasi, ketelitian, dan keseimbangan.
Argumen yang dibangun perlu ditopang bukti atau analisis yang masuk akal.
Bahasa persuasif pun tak boleh mengorbankan fakta.
Justru di sinilah daya tariknya—opini yang kuat tapi tetap bertanggung jawab.
Peran tulisan opini tak bisa dianggap remeh.
Ketika berita memberikan data dan fakta, opini membantu pembaca melihat makna di baliknya.
Ia mengajak refleksi, membuka diskusi, bahkan terkadang membentuk arah kebijakan publik.
Pada akhirnya, opini adalah jantung dari diskursus media.
Subjektif? Jelas. Tidak jurnalistik? Justru sebaliknya.
Dalam batas-batas standar profesional, opini menjadi bagian penting dari ekosistem pers: memantik debat, memperkaya perspektif, dan menjaga publik tetap berpikir kritis. **