![]() |
| Ilustrasi. (*/Mangoci4lawang Post) |
DI NEGARA ini, dunia kerja sering digambarkan seperti sebuah keluarga besar. Ada istilah “kami adalah keluarga”, “kami tumbuh bersama”, dan slogan manis lainnya yang ditempel di dinding kantor dengan bingkai mengkilap.
Tapi, kalau ditengok lebih dalam, keluarga macam apa yang langsung mengeluarkan surat pemecatan begitu angka keuntungan menurun? Keluarga macam apa yang menukar loyalitas dengan angka di laporan keuangan?
Lucunya, banyak karyawan masih percaya bahwa mereka benar-benar bagian dari keluarga itu. Padahal, kalau sudah tidak “dibutuhkan”, ujung-ujungnya ya ditendang juga.
Seperti pepatah lokal, “katek agi minyak, api dak nak idup”—tak ada bahan bakar, apinya pun padam.
Demikian pula dalam dunia kerja: selama masih ada tenaga, ide, dan waktu yang bisa diperas, pekerja dipuja. Begitu berhenti bermanfaat, maka “selamat tinggal” jadi salam perpisahan yang tak tertulis.
Perusahaan sering membungkus dirinya dengan jargon: “kami menghargai SDM.” Tapi di balik itu, pekerja hanyalah sparepart.
Ada yang rusak? Gampang. Tinggal ganti. Ada yang aus? Buang. Mesin tetap berjalan, sebab yang penting bukan orangnya, tapi produksi dan laba.
Coba lihat fenomena outsourcing. Hari ini ditempatkan di perusahaan A, besok bisa dilempar ke perusahaan B, lusa sudah tak jelas kabarnya. Nasib pekerja kadang lebih mirip barang sewaan. Perusahaan bilang: “ini demi efisiensi.” Padahal, efisiensi itu hanyalah kata lain dari “biar lebih untung, biar lebih murah, dan biar lebih gampang nendang orang.”
Ada yang kerja belasan tahun, lalu tiba-tiba perusahaan merger atau bangkrut. Tanpa banyak drama, karyawan yang setia itu hanya mendapat selembar kertas, pesangon seadanya, lalu dibiarkan belajar kembali jadi pengangguran.
Keluarga? Ya, keluarga palsu. Keluarga bohongan yang hanya menyayangi ketika rekening perusahaan masih gendut.
Kalau di Palembang, banyak orang akan nyeletuk, “Apo bae, wong niatnyo la nak cari untung, kito ni cuma alat bae.” Itulah realita yang sering diabaikan.
Ternyata, nasib dunia pertemanan tak jauh beda dengan dunia kerja. Teman seringkali hanya hadir ketika ada manfaat. Saat kita bisa memberi tumpangan, traktiran, atau akses tertentu, pertemanan terasa hangat.
Tapi coba ketika kita jatuh, tak lagi punya apa-apa, tiba-tiba lingkaran pertemanan itu seperti bayangan sore—memanjang sebentar, lalu hilang ditelan gelap.
Pertemanan kini mirip aplikasi: kalau bermanfaat, akan di-download dan dipakai. Begitu sudah ketinggalan zaman, langsung di-uninstall. Teman yang dulu memuji “kamu luar biasa,” bisa jadi orang yang sama yang bilang “aku sibuk, ya” ketika kita minta tolong.
Di Palembang, sering terdengar ungkapan, “Kawan katek pas susah, banyak pas senang bae.” Artinya jelas: kawan itu datang ketika ada senangnya, tapi kabur ketika susah tiba.
Mau dunia kerja, mau dunia pertemanan—semuanya sudah jadi transaksional. Ada untung, ada dekat. Tak ada untung, ya ditinggal.
Padahal manusia bukan kalkulator. Tidak seharusnya hubungan—baik profesional maupun personal—ditimbang dengan rumus untung rugi. Tapi apa daya, dunia modern lebih percaya pada tabel Excel daripada nurani.
Karyawan diukur dari KPI. Teman diukur dari “seberapa sering mentraktir, membantu, atau memberi akses.” Hubungan yang seharusnya hangat dan manusiawi jadi dingin dan mekanis.
Kalau begini terus, jangan heran kalau banyak orang merasa hampa meskipun bergaji besar atau punya lingkaran sosial luas. Sebab yang mereka miliki bukan keluarga, bukan kawan, tapi hanya pengguna jasa.
Para bos perusahaan suka berkata: “Kami peduli dengan kesejahteraan karyawan.” Namun, di saat bersamaan, mereka tidur nyenyak setelah menandatangani surat PHK massal.
Kalau karyawan protes, jawabannya klise: “Ini keputusan sulit.” Sulit untuk siapa? Sulit bagi mereka yang kehilangan nafkah, atau sulit bagi bos yang takut gajinya dipotong sedikit?
Mungkin sudah saatnya kita menyarankan slogan baru untuk perusahaan:
“Kami peduli… selama Anda masih bermanfaat.”
“Kami keluarga… tapi keluarga tiri.”
“Kami bersama Anda… sampai laba turun.”
Terdengar pahit? Justru itulah realita yang kerap disembunyikan di balik kata-kata manis.
Tak hanya bos, teman pun butuh disentil. Banyak yang suka berkata: “Kawan sejati takkan pernah meninggalkan.”
Tapi coba lihat kenyataan. Begitu kita tak bisa memberi lagi, tak bisa membantu lagi, tak bisa jadi penopang lagi, teman sejati itu mendadak menghilang.
Mungkin ada baiknya kita juga bikin label jujur untuk pertemanan:
“Berlaku sampai isi dompet menipis.”
“Habis masa manfaat, putus silaturahmi.”
“Datang kalau ada pesta, hilang kalau ada bencana.”
Mungkin terdengar kasar, tapi begitulah yang sering terjadi.
Kita hidup di zaman di mana manusia dimuliakan bukan karena siapa dirinya, melainkan karena apa yang bisa dia berikan. Yang kaya dihormati, yang miskin diabaikan. Yang berkuasa dielu-elukan, yang lemah ditertawakan.
Dalam dunia kerja, loyalitas karyawan dianggap biasa. Tapi loyalitas perusahaan? Itu barang langka.
Dalam dunia pertemanan, kesetiaan kawan saat kita sukses dianggap normal. Tapi kesetiaan saat kita terjatuh? Itu hampir mustahil.
Ada istilah “idup ni ibarat dagang, kalo rugi dak katek nak kawan.” Kehidupan benar-benar seperti perdagangan, yang rugi akan ditinggalkan, yang untung dikerubuti.
Satir ini bukan untuk meremehkan semua bos atau semua teman. Masih ada perusahaan yang benar-benar peduli, masih ada sahabat yang tulus. Tapi jumlahnya tak sebanyak iklan perusahaan atau caption Instagram.
Sungguh ironis. Kita hidup di era di mana perusahaan menganggap karyawan sebagai aset, tapi aset yang gampang dijual.
Kita hidup di era di mana pertemanan lebih mirip investasi, dengan pertanyaan tak terucap: “Apa keuntungan berteman denganmu?”
Kalau manusia terus diperlakukan sebagai alat, jangan heran kalau akhirnya banyak orang hidup dengan kepahitan. Mereka bekerja bukan karena cinta, tapi karena takut lapar. Mereka berteman bukan karena ikhlas, tapi karena takut sendirian.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti percaya pada slogan manis. Dunia kerja hanyalah pasar, bukan keluarga. Dunia pertemanan seringkali hanya kontrak sosial, bukan cinta murni.
Saran sederhana: bekerja secukupnya, jangan terlalu berharap pada balasan perusahaan.
Berteman secukupnya, jangan terlalu menggantungkan bahagia pada orang lain. Sebab pada akhirnya, yang benar-benar peduli hanyalah diri sendiri dan orang-orang yang terbukti hadir bahkan ketika kita tak lagi berguna.
Atau seperti orang Palembang bilang: “Jangan jadi api untuk wong, kalo sudah padam, dak katek jugo yang galak ngedopkenyo lagi.”
Dan itulah wajah satir kehidupan: dunia kerja dan dunia pertemanan sama-sama berputar di atas asas manfaat. Kalau masih ada guna, kita dijunjung. Kalau tidak, ya dibuang. **
